Scroll untuk baca artikel
Radar PolitikRadar Terkini

Demonstrasi Alat Perubahan atau Senjata Mempertegas Kekuasaan?

44
×

Demonstrasi Alat Perubahan atau Senjata Mempertegas Kekuasaan?

Sebarkan artikel ini
Megawati Dalle

RADAR SULTIM – Demonstrasi di Indonesia lahir dari hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang tidak amanah. Sejak krisis moneter 1998, aksi-aksi besar terus bermunculan: 2016 (Aksi 212), 2019 (korupsi reformasi), 2020 (omnibus law), hingga 2025 (tunjangan DPR). Rentangnya makin pendek, hanya 3–5 tahun sekali.

Oleh: Megawati Malle

iklan : warmindo

Demonstrasi 2025 melahirkan 17+8 tuntutan yang dirancang oleh beberapa influencer dan didukung rakyat. Pemerintah menanggapinya positif, sebagaimana disampaikan Menko Polhukham Yusril Ihza Mahendra. Namun, maraknya aksi menunjukkan semakin parahnya masalah tata kelola dan kekecewaan rakyat.

Jika pemerintah terus abai, demonstrasi berpotensi makin agresif hingga rakyat menyadari bahwa demokrasi yang dijalankan tidak memberi solusi. Meski begitu, masih ada secercah harapan melalui munculnya tokoh-tokoh baru yang dianggap bisa menjadi alternatif dari wajah lama birokrasi.

Praktik Demonstrasi untuk Perubahan

Politik masa kini penuh kelicikan. Tanpa kejeliannya rakyat sulit membedakan siapa yang bermain dan apa kepentingannya. Demonstrasi bahkan bisa direkayasa, isu disebar ke media, dan tuntutan dijadikan alat skenario pihak tertentu—semua dilakukan tanpa terlihat mengotori tangan, demi menjaga kepentingan yang sudah mereka bangun. dalam bangsa ini.

Praktik demonstrasi dalam demokrasi sejauh ini tidak menghasilkan perubahan mendasar. Tuntutan rakyat sering tidak dijamin pelaksanaannya, bahkan ketika berujung pada kudeta, pergantian pemimpin tidak otomatis membawa perubahan. Hal ini karena kedaulatan tetap berada di tangan kelompok elit. Pemimpin baru pun rentan dilengserkan kembali jika berseberangan dengan mereka. Selain itu, demonstrasi kerap ditunggangi untuk menutupi agenda tertentu atau dijadikan alat menjatuhkan kekuasaan yang dianggap menghalangi kepentingan.

Dari sini jelas bahwa demonstrasi bukanlah jalan perubahan sejati, sebab terlalu rawan ditunggangi kepentingan. Di permukaan ia tampak sebagai tuntutan wajar, namun bila diteliti lebih dalam, seringkali ada agenda lain yang dimainkan. Bahayanya, masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan justru dimanfaatkan untuk memperkuat posisi pihak tertentu. Alih-alih membawa perubahan, demonstrasi hanya berujung pada pergantian pion tanpa menyentuh akar persoalan.

Sejumlah tragedi menunjukkan bahwa demonstrasi bukan jalan ideal untuk perubahan. Tahun 1998, aksi besar memang berhasil menjatuhkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, namun hanya melahirkan transisi demokrasi dengan menggantinya pada BJ. Habibie. Lebih jauh ke belakang, penggulingan Soekarno melalui isu PKI membuka jalan bagi masuknya IMF dan World Bank ke Indonesia. Pola serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia, menegaskan bahwa demonstrasi seringkali hanya mengganti wajah kekuasaan tanpa mengubah sistem yang melatarinya.

Karena itu, ketidakpercayaan rakyat harus diarahkan dengan lebih terstruktur agar dapat ditindaklanjuti dengan benar. Jika hanya berhenti pada demonstrasi yang spontan dan tanpa pemahaman, rakyat akan mudah ditunggangi serta dijadikan kambing hitam. Perlu diingat, kebenaran sekalipun bisa kalah bila berhadapan dengan kejahatan yang terorganisir.

Perubahan dengan Metode yang Benar

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nidzamul Islam dan Nidzam Iqtishadi menegaskan bahwa kebangkitan hanya dapat dicapai melalui pemikiran cemerlang dan menyeluruh tentang kehidupan serta persoalannya. Dengan pemikiran seperti ini, generasi mampu melihat arah, tujuan, serta hambatan yang menghadang, sekaligus memahami aturan apa yang seharusnya diterapkan.


Bagi seorang muslim, pijakan perubahan sejati adalah kembali kepada Islam. Saat masyarakat menyadari rusaknya birokrasi, tuntutan utama bukanlah aturan buatan manusia yang terbatas, melainkan penegakan aturan Allah yang sempurna. Perubahan tidak cukup hanya dengan mengumpulkan aspirasi rakyat dan meramunya dalam sekian pasal, melainkan harus berpijak pada syariat yang menjadi solusi menyeluruh.

Rasulullah SAW telah mencontohkan metode perubahan yang efektif di Jazirah Arab. Pertama, beliau menanamkan pemikiran yang menyeluruh dan membinanya dengan akidah yang kuat, sehingga lahirlah generasi cerdas, kritis, dan mampu memecahkan masalah secara detail.

Kedua, beliau menyebarkan opini dengan cepat dan terarah, hingga seluruh masyarakat memiliki pola pikir yang sama dan kokoh. Hal ini bisa dicontohkan hari ini melalui media sosial, meski masih banyak tantangan yang mengaburkan cara berpikir generasi.

Ketiga, Rasulullah mengajak masyarakat menegakkan aturan Islam dalam bentuk negara dengan dukungan para penguasa. Dukungan ini mudah terwujud karena dua tahap sebelumnya sudah tercapai, sehingga tidak ada jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah dan masyarakat. Namun, di masa kini, tahap ketiga sulit diwujudkan karena belum tercapainya fondasi tahap awal, ditambah banyaknya kemunafikan di tengah umat.

Aktivitas Rasulullah SAW dalam meminta dukungan para penguasa bukanlah upaya menggulingkan kekuasaan. Justru, langkah itu membuat para penguasa semakin dihormati rakyatnya, karena masyarakat sebagai kumpulan manusia mudah diarahkan oleh figur yang mereka percaya. Kondisi ini ideal untuk menghindari konflik, asalkan penguasa berada di pihak yang sama dengan Rasulullah.

Sebaliknya, bila penguasa masih bergantung pada pihak luar, pertolongan sulit didapat. Inilah pentingnya pemimpin yang mandiri, berani mengambil keputusan tanpa tekanan asing, serta tidak dapat dibeli dengan harta dan kepentingan. Sayangnya, hari ini sosok seperti itu masih jarang terlihat.

google news