RADAR SULTIM – Aktifitas bongkar muat peti kemas resmi dipindahkan dari Pelabuhan Luwuk ke Pelabuhan Tangkiang pada 1 November 2023.
Resmi dipindahkannya aktifitas peti kemas itu setelah melalui sejumlah proses panjang yang dilakukan pihak KUPP Kelas II Luwuk sebagai otoritas berwenang.
Pemindahan aktifitas bongkar muat dari dalam jantung Kota Luwuk ke wilayah Kecamatan Kintom, didukung hampir seluruh masyarakat Luwuk Banggai, khususnya dalam Kota Luwuk itu sendiri.
Dengan pertimbangan bahwa kegiatan peti kemas dalam Pelabuhan Luwuk yang masuk dalam wilayah Kota, memang sudah tak memadai.
Namun pemindahan itu sejak direncanakan hingga terlaksana saat ini terus mendapat penolakan dari kelompok buruh yang berasal dari TKBM Teluk Lalong.
Mereka beralasan, pemindahan pelabuhan peti kemas itu akan ‘membunuh’ mata pencaharian mereka. Benarkah demikian?
Demikian rangkuman fakta yang berhasil disusun redaksi radarsultim.com terkait pemindahan pelabuhan peti kemas di Luwuk Banggai.
KAJIAN KUPP LUWUK
Pemindahan aktifitas peti kemas dari Pelabuhan Luwuk ke Tangkiang sesuai Rencana Induk Pelabuhan (RIB) Kemenhub RI sudah direncanakan sejak 21 tahun lalu.
Tertunda selama berpuluh tahun, kebijakan itu akhirnya harus dilakukan saat ini setelah kondisi di pelabuhan Luwuk sudah sangat tak memadai.
Alur masuk pelabuhan, wilayah gerak kapal, hingga kedalaman dermaga dan padatnya arus kapal di wilayah Pelabuhan Luwuk, berdasarkan hasil kajian terbaru Dirjen Hubla Kemenhub RI, tak lagi memenuhi aspek keselamatan pelayaran.
Alur masuk yang hanya selebar 80 meter persegi, sangat jauh dari lebar minimal 200 meter, yang dilalui puluhan kapal setiap harinya.
Salah satu contoh itu, beberapa kali kecelakaan pelayaran sudah terjadi. Mulai dari kapal karam, tabrakan, saling senggol, dan lain sebagainya.
Pelabuhan Luwuk yang berstatus umum dan memprioritaskan penumpang, atau bukan pelabuhan peruntukan peti kemas, juga menyulitkan dalam hal pengawasan keselamatan pelayaran oleh KUPP Luwuk.
Namun alasan teknis yang memastikan keselamatan pelayaran itu tetap tak mau diterima pihak pengurus buruh.
Bahkan mereka mengatakan jika kecelakaan pelayaran, seperti tabrakan kapal, adalah hal yang biasa terjadi.
PEMERATAAN EKONOMI
Dipindah ke Pelabuhan Tangkiang, bukan hanya menguntungkan masyarakat banyak khususnya dalam Kota Luwuk dari sisi kenyamanan dan keselamatan lalu lintas, sehingga langkah itu mendapat dukungan.
Namun dipercaya, pemindahan ini akan memberi pemerataan ekonomi bagi para pekerja di Luwuk Banggai.
Sentralisasi kegiatan di Kota Luwuk selama ini, hanya memberi dampak pada segelintir orang dalam Kota.
Sementara jika dipindahkan, bukan hanya kalangan pekerja lokal di sejumlah wilayah luar Kota Luwuk yang akan mendapat manfaat, namun juga kelompok masyarakat lainnya yang bergerak di bidang UMKM.
Gairah investasi luar untuk masuk ke wilayah Luwuk Banggai, khususnya di Kintom dan Nambo, juga semakin terbuka lebar dengan tersedianya pelabuhan peti kemas utama di Tangkiang.
ISU HARGA
Menolak pindahnya pelabuhan peti kemas, isu harga berbagai barang dalam kota Luwuk diangkat sebagai alasan utama.
Dikatakan jika aktifitas peti kemas yang ada di Pelabuhan Luwuk saat ini dipindahkan, maka harga-harga barang akan alami kelonjakan.
Padahal hal itu tidak benar sama sekali.
Dua pelayaran yang selama ini aktifitas di Luwuk dan dua pelayaran di Tangkiang, menerapkan biaya yang sama dalam hal ongkos peti kemas.
Bahkan, volume peti kemas dua pelayaran di Pelabuhan Luwuk sebelumnya, jauh lebih sedikit dengan volume dua pelayaran di Tangkiang. Lebih banyak 3 hingga 4 kali lipat lebih banyak di Pelabuhan Tangkiang.
Oleh Pemda Banggai melalui Bupati Banggai, isu harga ini sempat menjadi fokus utama sehingga turut terlibat.
Dengan tujuan kebijakan pemindahan nantinya tidak berimbas pada masalah harga barang bagi masyarakat.
Namun setelah mendapat penjelasan dan dipastikan tak memiliki pengaruh terhadap harga barang nantinya, Pemda Banggai pun akhirnya tak lagi mempermasalahkannya keputusan Pemerintah Pusat itu.
HINDARI SOLUSI
Yang menjadi harapan Bupati Banggai, dalam kebijakan pemindahan aktifitas peti kemas dapat menyediakan solusi agar buruh di Pelabuhan Luwuk tak kehilangan pekerjaan.
Harapan dari Bupati Banggai itupun menjadi konsentrasi KUPP Luwuk serta seluruh pihak terkait, termasuk para pengusaha yang bergerak di pelabuhan dan menjadi mitra buruh selama ini.
Sejumlah solusi yang dinilai tetap dapat memberi penghasilan kepada buruh, disiapkan. Bahkan solusi itu bisa memberi keuntungan dua kali lipat dari pendapatan mereka selama ini.
Yakni salah satunya dengan tetap memanfaatkan lahan di Pelabuhan Luwuk sebagai area penumpukan kontainer sebelum dikapalkan atau didistibusikan.
Dijadikan ‘depo’, buruh atau TKBM akan tetap bisa beraktifitas lakukan bongkar muat peti kemas, atau yang dikenal dengan istilah staffing.
Jika sebelumnya bongkar muat buruh hanya layani 2 pelayaran, maka dalam solusi yang disediakan itu, buruh akan melayani 4 pelayaran.
Namun solusi yang coba ditawarkan dengan cara sosialisasi kepada pihak buruh itu, sengaja terus dihindari.
Para buruh hanya memiliki satu keinginan, menolak pemindahan peti kemas dari pelabuhan Luuwk itu terjadi.
JAGA PUNDI KERINGAT BURUH
Namun rupanya ada alasan kuat dari para ‘petinggi’ kalangan buruh menolak keras pemindahan peti kemas itu terjadi.
Yang tak lain terkait keuntungan besar yang dinikmati jajaran pengurus selama ini.
Anggota buruh tak lebih dari sapi perah yang terus mendatangkan keuntungan bagi para pengurus setelah memeras keringat dalam bekerja.
Terkuak dalam rapat bersama yang dihadiri Pemda Banggai, Kejari Banggai, pihak buruh dan pengusaha terkait upah buruh pelabuhan beberapa waktu lalu, dari upah 1 kontainer atau peti kemas, buruh mendapat tak lebih dari setengah upah sebenarnya.
Sebagian besar, masuk ke kantong pengurus dengan berbagai embel-embel kebutuhan organisasi, seperti untuk THR, BPJS, dan lain sebagainya.
Seorang pengurus Koperasi TKBM Teluk Lalong dalam rapat itu membeberkan, jika upah buruh untuk 1 kontainer sebesar Rp 650 ribu, buruh yang bekerja menerima bagian sekitar Rp 200 ribuan.
Sedangkan sisanya yang jauh lebih besar, masuk ke jajaran pengurus.
DIANCAM SKORSING
Aksi demo penolakan yang dilakukan pihak TKBM Teluk Lalong ternyata juga tak lepas dari adanya ancaman yang diberikan pada anggota jika tak mengikutinya.
Salah satu anggota koperasi TKBM Teluk Lalong mengungkapkan, sebagian besar buruh takut untuk tak ikut demo bersama menolak pemindahan peti kemas, karena diancam jajaran pengurus.
Ancaman itu berupa pemberian skorsing, surat peringatan, hingga lain sebagainya.
“Buruh takut, karena diancam jika tak ikut akan diskorsing,” sebut anggota Koperasi TKBM Teluk Lalong itu sendiri.
Padahal, diakui jika sebagian besar anggota koperasi TKBM Teluk Lalong telah bersedia menerima solusi yang diberikan.
Namun desakan dari jajaran pengurus mereka, para buruh dipaksa untuk bisa bersuara.
DISUSUPI POLITIK
Fakta lain yang juga ditemukan dalam aksi penolakan pemindahan pelabuhan peti kemas itu adalah adanya kepentingan politik yang coba dimainkan oknum untuk mendapat keuntungan.
Seperti yang tercium dilakukan salah satu caleg untuk anggota DPRD Banggai yang masuk melalui Dapil 1 Banggai.
Dalam aksi ini, oknum caleg itu diduga kuat terus memprofokasi situasi di kalangan buruh, dengan harapan dirinya bisa nampak seperti pahlawan dan nantinya meraup suara dukungan saat Pileg 2024.
Bukan hanya satu oknum caleg itu, sejumlah oknum politik yang coba memanfaatkan situasi tersebut turut masuk.
Termasuk seorang anggota DPD RI asal Sulteng, Abdul Rachman Thaha, yang bahkan nekat memanipulasi hasil pertemuan dengan KUPP Luwuk agar bisa mendapat simpatik buruh.
Dengan sombongnya, ART usai bertandang ke kantor KUPP Luwuk, mengklaim jika pemindahan aktifitas peti kemas ditunda hingga dirinya berbicara langsung dengan Menteri Perhubungan.
Namun kemudian pihak KUPP Luwuk membantah pengakuan dari anggota DPD RI itu, dan menegaskan jika perpindahan tetap akan dilakukan sesuai perintah dari Kemenhub secara langsung.
CATUT MAHASISWA
Agar isu penolakan itu semakin seksi terdengar, status mahasiswa kemudian ikut dicatut, meski dalam aksi ini sebenarnya bukan dari kalangan mahasiswa.
Dan sialnya, salah satu Fakultas Universitas di Kota Luwuk dijadikan nama asal aliansi mahasiswa yang menolak.
Padahal, aksi ini diduga diprakarsai oleh seorang alumni mahasiswa (sudah tak berstatus mahasiswa).
Kebetulan menjabat sebagai Ketua organisasi itu sebelum lulus, pencatutan nama mahasiswa ikut menolak pun dimanfaatkan.
Bahkan, pimpinan organisasi mahasiswa yang menjabat saat ini, ikut ‘disandera’ agar bisa menyetujui terlibat dalam aksi itu.
“Kalau ketua katanya hanya terpaksa karena ada yang paksa. Mahasiswa lain tidak ada yang ikut sebenarnya,” sebut salah satu mahasiswa di universitas yang juga aktif di organisasi itu.
HALALKAN SEGALA CARA
Kamis 9 November 2023, demo buruh menolak pemindahan peti kemas kembali dilakukan dengan mendatangi kantor Bupati Banggai.
Kepada Bupati Banggai, kalangan buruh yang kembali ikut membawa nama aliansi mahasiswa, meminta agar pemindahan itu dapat ditolak kembali.
Segala cara telah coba dilakukan oknum ‘elit’ kaum buruh untuk melindungi sumber cuan mereka.
Sebelumnya, para oknum ‘elit’ buruh itu juga coba merekayasa hasil berita acara pertemuan dengan unit mereka di Pelabuhan Tangkiang.
Dimana rekyasa itu sebutkan jika UUPJ Tangkiang ikut menolak pemindahan pelabuhan, namun akhirnya dibantah langsung oleh pengurus UUPJ Tangkiang sendiri.
Tak mengikuti kemauan oknum ‘elit’ pengurus koperasi TKBM Teluk Lalong, SK pergantian kepengurusan UUPJ Tangkiang dikeluarkan.
Yang ditenggarai sengaja dilakukan untuk menimbulkan kembali konflik antara buruh di Pelabuhan Tangkiang.
Namun SK tersebut ditolak mentah-mentah oleh seluruh anggota TKBM di Pelabuhan Tangkiang melalui rapat luar biasa.
Dan menyepakati untuk tetap mempertahankan kepengurusan yang telah ada, dimana ketua dan jajaran pengurusnya telah dipilih melalui RAT untuk periode 2022 hingga 2027.
Memang masih belum dipastikan juga, namun dalam aksi penolakan ini, oleh salah satu pihak pelayaran disebutkan coba bermain di belakangnya.