Scroll untuk baca artikel
Berita Terkini

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan hanya Seremonial?

28
×

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan hanya Seremonial?

Sebarkan artikel ini
Fitry Ahsan

RADAR SULTIM – Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Sebagai institusi nasional hak asasi manusia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.

iklan : warmindo

Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. (komnasperempuan.go.id).

Kampanye ini pun mendapat dukungan dari PBB. Pada 2008, Sekretaris Jenderal PBB meluncurkan kampanye UNITE dengan tujuan menghapus kekerasan terhadap perempuan. Kampanye UNITE ini pun berjalan paralel dengan peringatan 16 HAKTP yang digelar setiap tahun. (Tirto.id, 23-11-23)

Meski kampanye tersebut diperingati setiap tahunnya sejak 2001, pada faktanya kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan bahkan semakin meningkat. Maraknya kasus kekerasaan perempuan belakangan ini, semakin menunjukkan betapa tidak berdayanya negara ini melindungi kaum perempuan.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, seorang suami melakukan KDRT terhadap istri hingga masuk RS, lalu membunuh ke 4 anaknya yang masih kecil saat sang Istri tengah dirawat. (Tribunnews.com, 08-12-23)

Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%) diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%).

Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4102 kasus/26.52%%).

Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494). Berbeda dengan lembaga layanan, data tahun 2022 ini menunjukkan bahwa di ranah publik dan personal yang paling banyak berbentuk fisik.

Fakta-fakta ini menunjukkan peringatan 16 hari tersebut tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan terkait kekerasan terhadap perempuan, melainkan hanya Seremonial belaka, karena tanpa dibarengi langkah yang nyata.

Sehingga kampanye tersebut bukanlah solusi tepat karena faktanya solusi tersebut tidak menyasar kepada akar permasalahan.

Hal ini karena dipengaruhi oleh cara pandang kapitalis yang berpendapat bahwa Perempuan adalah  komoditisasi.

Yaitu Perempuan hanya dipandang sebagai barang, dan hanya dianggap berdaya jika bisa menghasilkan materi.

Gaungan wanita karir, serta kecantikan fisik yang bisa dieksploitasi menjadi tren di masyarakat kapitalis.

Ditambah negara mendukung dengan memfasilitasi program pemberdayaan perempuan, menjadikan tolok ukur perempuan yang berdaya adalah yang bisa menopang ekonomi dan tidak bergantung pada orang lain.

Alhasil, kekerasan terhadap perempuan pun mengikuti, bisa disebabkan oleh ekonomi, ataupun pelecehan di ranah publik, seperti di tempat kerja, transportasi umum, dan sebagainya.

Tidak sedikit pula istri yang terjebak kasus perselingkuhan di ranah kerja hingga memicu terjadinya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) oleh suaminya.

Ditambah lagi sanksi bagi para pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan tidak memberikan efek jera kepada pelaku, sehingga kasus yang sama terus menerus berulang dari tahun ke tahun.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam, sebab Islam memandang perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Rasulullah Saw. bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan.” (HR. Muslim: 3729)

Dari hadist tersebut, jelas bahwa Islam sangat menjaga perempuan, menyayanginya, serta memuliakannya.

Islam pun memiliki berbagai aturan-aturan yang mampu untuk mencegah terjadinya kekerasan, salah satunya istri tidak diberikan kewajiban mencari nafkah, karena kewajiban nafkah ada pada suami, aturan bersama mahrom saat bepergian juga menjadi salah satu cara melindungi perempuan saat berada di luar rumah.

Islam juga mengatur interaksi antar lawan jenis baik di dalam wilayah khusus (Rumah, ruangan, dll.), atau di wilayah publik (taman, pasar, dsbg) sehingga meminimalisir terjadinya pelecehan di ruang publik maupun di ruang tertutup.

Tidak seperti kapitalis yang hanya memandang materi, dalam Islam nafkah untuk perempuan telah terjamin, sejak masih gadis ditanggung oleh ayahnya, setelah menikah ditanggung oleh suaminya.

Jika suami tidak mampu maka keluarga suami wajib menafkahinya, begitu pun saat menjadi janda, kewajiban nafkah kembali kepada ayahnya, dan seterusnya dari pihak lelaki.

Karena sejatinya tolok ukur kemuliaan perempuan bukan terletak pada kekayaan, kecantikan, ataupun derajat sosial, melainkan pada ketaqwaannya. Baik lelaki maupun perempuan.

Dengan hal ini, maka Islam merupakan solusi yang hakiki dalam menyelesaikan berbagai persoalan perempuan hari ini.

google news