Oleh: Zulfa Khaulah (Aktivis Dakwah Muslimah
Radarsultim.com, Luwuk – Kasus keracunan massal akibat program Makanan Bergizi (MBG) kembali mencuat. Seharusnya program ini menjadi jawaban atas masalah gizi masyarakat, terutama anak-anak sekolah, justru berulang kali memakan korban. Ratusan siswa mengalami gejala keracunan usai mengonsumsi makanan bantuan pemerintah. Ada yang mual, muntah, pusing, hingga harus dirawat di rumah sakit. Tragedi ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam pengelolaan program publik yang menyangkut hajat hidup rakyat.
Sebagaimana yang terjadi di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah pada Rabu, 17 September 2025 ±157 siswa dari SD, SMP, SMA dan SMK di Kota Salakan Banggai Kepulauan di duga mengalami keracunan massal setelah menyantap menu MBG. Mereka dilarikan ke RS Trikora Salakan. Gejala yang muncul antara lain: mual, muntah, sesak napas, gatal-gatal, kram perut. Menurut data terbaru, 355 siswa diduga keracunan MBG, 301 diantaranya sudah pulih dan dipulangkan, 34 masih dirawat, termasuk beberapa pasien di ICU, namun dalam kondisi stabil. (Suara.com, 20/9/2025)
Dikutip dari Monitor Indonesia, sejak pertama kali diluncurkan data CISDI menyebut setidaknya 5.626 kasus keracunan makanan akibat MBG hingga September 2025, tersebar di 17 Provinsi. Program MBG digadang-gadang sebagai bukti kepedulian pemerintah terhadap generasi muda. Namun faktanya, kasus keracunan terus terulang. Sering kali pihak berwenang hanya mengeluarkan pernyataan “sedang diteliti,” “akan dievaluasi,” atau “oknum akan ditindak.” Nyatanya, pola kegagalan tetap sama: lemahnya kontrol kualitas, distribusi yang terburu-buru, dan pemilihan vendor yang lebih mementingkan harga murah daripada mutu.
Masyarakat menjadi saksi bahwa program dengan label “bergizi” malah menjadi ancaman. Lebih miris lagi, program ini dijalankan dengan anggaran besar dari uang rakyat, tetapi tidak menghadirkan jaminan keselamatan.
Akar Masalah Ada pada Sistem Sekuler-Kapitalis
Tragedi MBG bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan buah dari sistem yang salah urus.
- Orientasi politik, bukan kebutuhan rakyat.
Program bantuan makanan lebih diarahkan untuk membangun citra populis dan meraup simpati, bukan benar-benar dirancang demi keberlanjutan gizi rakyat. Dengan alasan pencitraan, program dipaksakan berjalan meski kesiapan produksi dan distribusi sangat minim. - Kapitalisasi layanan publik.
Dalam sistem kapitalis, program semacam ini sering dilibatkan pada pihak swasta dengan orientasi keuntungan. Akibatnya, demi menekan biaya, kualitas bahan pangan dikompromikan. Ketika standar keamanan dikorbankan, rakyatlah yang menanggung risiko. - Rakyat diposisikan sebagai objek, bukan subjek.
Alih-alih memberdayakan masyarakat dalam penyediaan pangan lokal yang sehat, negara justru menyerahkan urusan besar ini kepada tender dan proyek. Rakyat hanya jadi penerima, bukan penentu. Padahal, kebutuhan gizi adalah hal vital yang menentukan kualitas generasi.
Dengan demikian, akar persoalan bukan sekadar lemahnya pengawasan teknis, melainkan paradigma sekuler yang gagal menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas.
Solusi Islam: Negara sebagai Ri’ayah dan Junnah
Islam telah memberikan panduan jelas dalam pengelolaan urusan rakyat. Pemimpin adalah “raa’in” (pengurus) sekaligus “junnah” (perisai) bagi umat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Prinsip tersebut menuntut negara untuk memastikan setiap program yang dilaksanakan benar-benar menjamin keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.
Empat Prinsip dalam sistem Islam, yaitu:
- Program berbasis maslahat, bukan pencitraan.
Negara hanya melaksanakan kebijakan yang nyata-nyata dibutuhkan rakyat, bukan untuk kepentingan politik sesaat. Pemenuhan gizi dan kesehatan menjadi prioritas strategis demi mencetak generasi kuat, sehat, dan berilmu. - Jaminan keamanan pangan.
Islam mewajibkan makanan yang diedarkan kepada masyarakat harus halal dan thayyib. Negara mengawasi dari hulu hingga hilir dari proses produksi, penyimpanan, distribusi, sampai konsumsi. Setiap pelanggaran ditindak tegas karena menyangkut nyawa rakyat. - Kesehatan sebagai hak rakyat.
Negara menyediakan layanan kesehatan preventif dan kuratif secara gratis. Bila ada kasus keracunan, negara bergerak cepat dengan fasilitas medis yang mumpuni, bukan sekadar membebankan tanggung jawab pada keluarga korban. - Pejabat amanah dan takut hisab.
Dalam sistem Islam, pejabat sadar bahwa amanah adalah beban hisab di hadapan Allah, bukan sekadar jabatan dunia. Mereka mengelola harta rakyat dengan penuh tanggung jawab, bukan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Saatnya kita semua menyadari bahwa keracunan MBG hanyalah satu dari sekian banyak bukti rapuhnya sistem sekuler. Selama urusan rakyat dikelola dengan orientasi proyek dan citra, tragedi serupa akan terus berulang. Umat tidak boleh terus-menerus menjadi korban.
Solusi hakiki adalah kembali kepada syariat Islam yang kaffah. Hanya dalam sistem Islam, rakyat dipandang sebagai amanah yang wajib dilindungi. Hanya dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk pangan bergizi dan kesehatan, ditunaikan dengan serius tanpa kompromi.
Sudah saatnya rakyat bersuara: hentikan program populis yang membahayakan! Ganti dengan sistem Islam yang menyejahterakan. Sebab, berasal dari aturan Allah Sang Pencipta (al-Khaliq) sekaligus Pengatur Kehidupan (al-Mudhabbir). Dengan itu, rakyat akan hidup sehat, aman, dan bermartabat, bukan terus menjadi korban percobaan kebijakan gagal.
Wallahu a’lam bishowab.[]