RADAR SULTIM – Sistem Pemilu di Indonesia baru saja hangat diperbincangkan setelah sistem proporsional terbuka digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh para penggugat, meminta agar Pemilu di Indonesia dikembalikan ke sistem proporsional tertutup.
Namun pada Kamis 15 Juni 2023 kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan sistem pemilu untuk diberlakukannya sistem proporsional tertutup.
Dalam konklusinya MK menegaskan pokok permohonan e sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sehingga gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta lima koleganya, ditolak.
Para penggugat, keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK.
Dalam pertimbangannya, MK menilai Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif.
Sikap ini diambil MK setelah menimbang ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum.
“UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum,” ujar hakim MK Suhartoyo.
MK lebih mendukung sistem proporsional terbuka karena lebih mendukung iklim demokrasi di Tanah Air.
Hal ini berkebalikan kalau sistem proporsional tertutup yang diterapkan.
“Sistem proporsional dengan daftar terbuka dinilai lebih demokratis,” ujar Suhartoyo.
MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak, di antaranya DPR, Presiden, KPU, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan.
Lalu seperti apa sih pemilu dengan sistem terbuka dan sistem tertutup itu?
Mengutip Kompas.com, berikut pemaparan mengenai perbedaan, kelebihan, hingga kekurangan pemilu sistem terbuka dan tertutup.
Dalam pelaksanaan pemilu sistem terbuka, Partai Politik mengajukan daftar calon yang tidak disusun berdasarkan nomor urut dan tanpa nomor di depan nama. (Biasanya susunannya hanya berdasarkan abjad atau undian).
Sedangkan dalam sistem tertutup, Partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.
Untuk metode pemberian suara dalam sistem terbuka, pemilih memilih salah satu nama calon.
Sedangkan dalam sistem terbuka, pemilih memilih partai politik.
Penetapan calon terpilih dalam sistem terbuka, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Sedang sistem tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.
Untuk derajat keterwakilan, pada sistem terbuka memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.
Sedangkan sistem tertutup, kurang demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif. Pilihan partai politik belum tentu pilihan pemilih.
Tingkat kesetaraan calon pada sistem terbuka, memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa.
Sedang pada sistem tertutup didominasi kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol, bukan karena dukungan massa.
Untuk jumlah kursi dan daftar kandidat, pada sistem terbuka partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh.
Sedangkan pada sistem tertutup setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan atau dapil.
Adapun kelebihan pada Pemilu dengan sistem terbuka, diantaranya mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan.
Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih, dan terbangunnya kedekatan antarpemilih.
Sementara kelebihan sistem tertutup, memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya, dan mampu meminimalisir praktik politik uang.
Untuk kekurangan Pemilu dengan sistem terbuka, peluang terjadinya politik uang sangat tinggi. Membutuhkan modal politik yang cukup besar. Rumitnya penghitungan hasil suara. Hingga sulitnya menegakkan kuota gender dan etnis.
Sementara kekurangan sistem tertutup, pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka. Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu.
Di Indonesia, pemilu dengan sistem terbuka mulai diterapkan pada Pemilu legislatif 2009, 2014, dan 2019.
Sementara pemilu dengan sistem tertutup, diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.