Jika kita hendak ingin memberikan gambaran mengenai Gerakan Intelektual Kritis maka rujukan tokoh selalu menjadi terpenting.
Dan pilihan itu tertuju pada telaah kritis yang bersumber dari Antonio Gramsci (22 Januari 1891 – 27 April 1937) adalah seorang filsuf, teoretikus politik, dan aktivis Italia yang memainkan peran penting dalam pemikiran kritis dan analisis sosial.
Oleh : Ade Putra Ode Amane (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai)
Hegemoni (egemonia) adalah kata asli Yunani yang berarti dominasi suatu negara atas negara lain. Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah konsensus di mana penaklukan dicapai oleh kelas hegemonik yang menerima ideologinya.
Hegemoni bukanlah suatu hubungan dominasi yang menggunakan kekuasaan, melainkan suatu pengaturan relasional yang menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi.
Hegemoni adalah kemenangan kelas penguasa yang dicapai melalui mekanisme konsensus berbagai kekuatan sosial dan politik.
Hegemoni terjadi ketika masyarakat kelas bawah, termasuk kaum proletar, menerima dan meniru gaya hidup, pola pikir, dan pola pikir kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasinya.
Menurut Gramsci, hegemoni akan menghasilkan ketaatan, suatu sikap penerimaan yang tidak kritis dan tidak mempertanyakan keadaan, karena ideologi yang dihadirkan oleh kelas hegemonik biasanya ditelan utuh.
Suatu kelompok kelas dikatakan hegemonik jika kelompok tersebut memperoleh pengakuan dari kekuatan dan kelas sosial lainnya dengan membangun dan memelihara sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi.
Menurut Gramsci, hanya dengan memperhatikan berbagai kepentingan kelas dan kekuatan sosial, kelas pekerja dapat menjadi kelas yang hegemonik dan mendamaikan mereka dengan kepentingannya sendiri.
Kepentingan-kepentingan ini tidak boleh terbatas pada kepentingan lokal, yang disebut Gramsci sebagai perjuangan ekonomi dan korporasi.
Selain itu, berbagai bentuk konsensus perlu dicapai untuk mewakili semua kelompok kekuatan besar.
Komitmen terhadap konsensus dicapai melalui perjuangan politik dan kepemimpinan intelektual, dan melalui pengakuan ideologis melalui mekanisme pendidikan dan kelembagaan.
Tujuan membangun hegemoni baru hanya dapat dicapai melalui perubahan kesadaran, pola pikir, pemahaman dan pandangan dunia masyarakat, serta perubahan norma moral dalam berperilaku. Gramsci menyebut gerakan ini sebagai revolusi intelektual dan moral.
Kaum intelektual mempunyai misi untuk melaksanakan hal ini. Gramsci percaya bahwa setiap kelas menghasilkan satu atau lebih lapisan intelektual yang sadar akan perannya tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik dan sosial.
Oleh karena itu, jika kelas pekerja juga ingin menjadi kelas hegemonik, maka harus menciptakan intelektualnya sendiri.
Masyarakat sipil memiliki posisi dan peran penting dalam membentuk kesadaran massa, dan merupakan wadah dimana kelompok sosial yang dominan mengatur konsensus dan hegemoni.
Masyarakat sipil sekaligus adalah wadah dimana kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah (subordinat) menyusun perlawanan dan membangun hegemoni alternatif atau hegemoni tandingan (counter hegemony).
Gramsci menjelaskan bahwa kelas yang ingin mencapai hegemoni dalam masyarakat sipil juga perlu memperoleh kepemimpinan di bidang produksi.
Pasalnya, kaum borjuis juga menjadi kelas hegemonik dalam masyarakat sipil dan mengontrol proses produksi secara ketat sehingga bisa memperoleh kekuasaan negara. Oleh karena itu, ranah politik (perebutan kekuasaan negara) tidak dapat dipisahkan dari ranah ekonomi.
Gramsci menggunakan istilah (Historic Bloc) untuk menggambarkan upaya kelas hegemonik yang menggabungkan kepemimpinan atas kekuasaan kelompok sosial dalam masyarakat sipil dengan kepemimpinan di bidang produksi.
Berikut beberapa proposisi yang dapat dirumuskan untuk menggambarkan teori hegemoni.
Pertama, Hegemoni adalah suatu bentuk dominasi yang melibatkan penguasaan bidang budaya, termasuk norma, nilai, bahasa, mitos, dan praktik simbolik lainnya, oleh kelompok atau kelas dominan.
Kedua, Hegemoni melibatkan penerimaan sukarela oleh masyarakat umum terhadap norma dan nilai yang diberlakukan oleh kelompok dominan. Hal ini tidak hanya mencakup kontrol fisik atau politik, namun juga pengaruh ideologi dan budaya.
Ketiga, Hegemoni diwujudkan melalui peran intelektual organik, yaitu individu yang muncul dari dalam kelompok sosial tertentu dan bertindak sebagai mediator antara kelompok itu dengan kekuasaan.
Keempat, Masyarakat sipil, termasuk lembaga-lembaga seperti sekolah, media, tempat ibadah, dan organisasi sosial, adalah arena di mana hegemoni diterapkan dan diresapi. Masyarakat sipil adalah tempat di mana norma dan nilai-nilai dihasilkan, disebarkan, dan diterima.
Kelima, Hegemoni selalu berada dalam kondisi kontestasi, di mana kelompok yang berbeda berusaha untuk membentuk dan mempertahankan hegemoni mereka sendiri. Kontestasi ini dapat terjadi melalui bentuk-bentuk perlawanan budaya dan politik.
Keenam, Kelompok berkuasa menggunakan budaya populer sebagai alat untuk memperkuat hegemoni mereka. Ini melibatkan produksi dan penyebaran naratif, simbol, dan representasi yang mendukung kepentingan kelompok berkuasa.
Ketujuh, Pendidikan memiliki peran penting dalam reproduksi hegemoni. Sekolah berperan dalam menyebarkan norma-norma sosial yang mendukung struktur kekuasaan yang ada.
Kedelapan, Perubahan hegemoni dapat terjadi melalui munculnya kaum intelektual organik yang memperjuangkan cara berpikir alternatif dan membentuk blok sejarah baru yang menentang kekuatan yang ada.
Kesembilan, Hegemoni tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga melibatkan interaksi yang dinamis antara struktur sosial dan agensi individu dan kelompok.
Kesepuluh, Hegemoni tidak bersifat statis; ia dapat mengalami perubahan seiring waktu sebagai hasil dari perubahan dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
(bersambung : Perspektif Gerakan Intelektual Kritis Part 2)