Tulisan mengenai Perspektif Gerakan Intelektual Kritis ini merujuk pada salah satu tokoh terpenting, yakni Antonio Gramsci, seorang filsuf, teoretikus politik, dan aktivis Italia yang memainkan peran penting dalam pemikiran kritis dan analisis sosial.
Oleh : Ade Putra Ode Amane (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai)
Tidak hanya kontemplasi, Gramsci membuat teorinya dari pengalamannya sendiri, pengamatan, dan interpretasi kehidupan sosial politik dan fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.
Untuk memahami konteks sosial politik dan fenomena sosial yang melatarbelakangi teori hegemoni Gramsci, kita harus melihat bagaimana kondisi sosial politik berkembang di Italia selama masa hidupnya.
Dalam konteks ini, Gramsci mengamati perubahan-perubahan ini dan merumuskan teorinya tentang hegemoni. Ia mengakui bahwa dominasi kelas tidak hanya dicapai melalui kekuatan fisik atau ekonomi, tetapi juga melalui pengaruh ideologi, budaya, dan norma-norma sosial.
Gramsci menyoroti pentingnya perjuangan dalam ranah budaya dan intelektual untuk mengubah hegemoni yang ada dan memperjuangkan transformasi sosial.
Teori hegemoni Gramsci menjadi kontribusi utama dalam pemikiran dan memengaruhi berbagai bidang, termasuk sosiologi, ilmu politik, dan kajian budaya.
Untuk pertama kalinya, Gramsci melihat kehidupan kota industri modern di Turin ketika dia memulai kuliahnya di sana. Kehidupan di desa pertanian jauh berbeda dengan Turin, kota industri yang mewah.
Selain itu, Gramsci melihat hubungan sosial politik yang timpang antara kelas petani di desa dan kelas buruh di kota.
Pengalaman Gramsci di Turin secara signifikan memengaruhi pemikirannya tentang kondisi sosial-politik dan mendorongnya untuk lebih mendalami kajian sosialis.
Dia tidak hanya melihat pertentangan kelas secara langsung, tetapi juga memperluas pemahamannya ke ranah ideologis dan budaya.
Pengalaman ini membantu membentuk landasan pemikiran Gramsci tentang konsep hegemoni, di mana dominasi kelas tidak hanya diterapkan melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui kontrol atas budaya dan norma-norma sosial.
Setelah dibesarkan di daerah Selatan, Gramsci menjadi seorang revolusioner dan berpartisipasi dalam perjuangan politik di Turin sebagai akibat dari kemiskinan dan ketidakadilan yang dia alami.
Selain menyebarkan pemikirannya, Gramsci terlibat dalam organisasi massa militan. Gramsci terus menulis tentang setiap aspek masyarakat Turin dan kondisi sosial politiknya, meninjau berbagai pemogokan dan demonstrasi buruh di kota tersebut, serta peristiwa politik lainnya di Italia dan bahkan diseluruh dunia.
Pengalaman Gramsci dalam perjuangan politik di Turin, bersama dengan analisisnya tentang kondisi sosial-politik, membentuk dasar bagi konsep-konsep seperti hegemoni dan peran budaya dalam dominasi kelas.
Keterlibatannya yang aktif dalam gerakan revolusioner juga mencerminkan komitmen pribadinya terhadap perubahan sosial dan perjuangan kelas.
Sebagai anggota penting Partai Sosialis Italia, Gramsci menyaksikan kegagalan gerakan massa pekerja revolusioner dan menyaksikan munculnya fasisme reaksioner, yang didukung oleh sejumlah besar massa kelas pekerja.
Peristiwa tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Gramsci dan memberinya kesadaran bahwa meskipun kapitalisme telah berkembang menjadi lebih matang, perubahan menuju sosialisme hanya dapat terjadi jika kaum proletar sudah menyadari kondisi-kondisi ini dan mampu mengorganisasi diri mereka sendiri untuk mampu melanjutkan secara mandiri.
Selagi kelas borjuis mengontrol kaum proletar, gerakan radikal pekerja untuk melawan hegemoni tidak akan terwujud.
Sehubungan dengan perspektif Gramsci tentang kegagalan gerakan massa pekerja dan munculnya fasisme, berikut adalah beberapa poin penting diantaranya adalah
Pertama, Gagalnya Gerakan Pekerja Massa Revolusioner. Gramsci melihat bahwa gerakan massa pekerja revolusioner, terutama gerakan kiri seperti Partai Sosialis Italia, tidak berhasil mencapai tujuannya.
Meskipun ada upaya dan perjuangan, gerakan tersebut berhasil ditaklukkan oleh kekuatan reaksioner seperti kelompok fasis di bawah Mussolini.
Kedua, Fasisme muncul dan dukungan kelas pekerja. Gramsci juga menemukan paradoks bahwa sebagian besar kelas pekerja mendukung gerakan fasis yang sebenarnya reaksioner.
Ini menunjukkan ketidakpuasan dan ketidakpastian di kalangan kelas pekerja, yang mungkin merasa tidak diwakili atau terpinggirkan oleh gerakan kiri konvensional.
Ketiga, Kesadaran Kelas dan Organisasi Sendiri. Dengan pemahaman ini, Gramsci menekankan betapa pentingnya kesadaran kelas dan organisasi sendiri bagi kaum proletar.
Dia percaya bahwa perubahan menuju sosialisme tidak hanya tergantung pada keadaan material, tetapi juga pada kesadaran kolektif pekerja akan kepentingan bersama dan kemampuan mereka untuk berorganisasi.
Keempat, Hegemoni Kelas Borjuis. Menurut Gramsci, kelas borjuis memainkan peran hegemoni dalam mengontrol dan memanipulasi massa pekerja.
Selama kelas borjuis dapat mempertahankan dominasinya dalam domain budaya, ideologi, dan politik, gerakan radikal pekerja tidak akan dapat menggulingkannya.
Kelima, Pentingnya Kemandirian dan Pendidikan Politik Menurut Gramsci, adalah penting untuk mengatasi dominasi ideologis dan menggerakkan perubahan sosial.
Mereka harus memiliki kemampuan untuk memahami realitas politik, dapat melampaui propaganda hegemoni, dan dapat mengorganisasi diri mereka sendiri secara efektif.
Konsep Gramsci tentang “perang budaya” dan bagaimana intelektual organik membentuk kesadaran kelas didasarkan pada pemikiran ini.
Selain itu, perspektif ini sangat membantu teori hegemoni, yang menganggap kontrol ideologis dan budaya sangat penting untuk mempertahankan kekuasaan kelas borjuis.
Berdasarkan kegagalan gerakan pekerja, Gramsci menawarkan perspektif baru. alternatif Gramsci tentang negara, yang merupakan kombinasi rumit dari tindakan teori dan praktik yang memungkinkan kelas yang berkuasa membenarkan dan mempertahankan dominasi serta berusaha mendapatkan kesepakatan aktif dari kelas yang didominasi, (Suyanto & Amal, 2010).
Dalam keseluruhan, metode Gramsci menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang cara-cara di mana kekuasaan dan dominasi disimpan dan dijaga dalam masyarakat.
Pendekatan ini telah berdampak pada berbagai bidang studi, termasuk sosiologi, ilmu politik, dan studi budaya.
Analisisnya membuka ruang untuk strategi perubahan sosial yang lebih kompleks dan terfokus pada dimensi ideologis dan budaya daripada hanya aspek ekonomi dan politik.
(Bersambung : Perspektif Gerakan Intelektual Kritis Part 3)