RADAR SULTIM – Dua potret yang mengiris hati dari dunia Pendidikan kembali menuai sorotan tajam. Viral dalam waktu yang berdekatan menyiratkan bahwa krisis ini bukan sekadar pelanggaran aturan sekolah. Insiden yang pertama yaitu kasus Kepala SMAN Cimarga, Banten, Dini Fitri, yang diduga menampar siswa bernama Indra setelah ketahuan merokok dan berbohong. Insiden penamparan ini bermula ketika siswa bernama Indra ketahuan merokok oleh Dini di belakang sekolah. Dini pun menegur tapi Indra berbohong jika dirinya merokok. Kasus ini berakhir damai dengan pencabutan laporan polisi oleh orangtua siswa (Detik.com, 18 Oktober 2025).
Insiden kedua, seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS, yang dengan santainya merokok dan mengangkat kaki di samping gurunya, Ambo. Dalam klarifikasi kepada Dinas Pendidikan Makassar, Ambo mengaku tidak menyadari muridnya memegang rokok karena fokusnya teralihkan pada permintaan AS untuk diajari membaca puisi. Namun, pengakuan yang mencuri perhatian yaitu ia ragu untuk menegur secara tegas.
Hal ini tentu saja menjadi perbincangan nasional. Bagaimana tidak? Guru dibuat bingung, ingin mendidik sepenuh hati namun harus berhati-hati pada sanksi. Di satu sisi, ada guru yang memilih tidak bertindak tegas karena takut dicap melanggar HAM. Yang itu tentu saja membuat siswa tidak disiplin. Di sisi lain, ada seorang pendidik memakai kekerasan kepada siswanya yang ketahuan merokok. Tentu saja, insiden-insiden seperti ini menyiratkan adanya tembok besar tak kasat mata yang membuat para guru ragu bahkan takut menegakkan kedisiplinan seluruh siswa.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana siswa merasa punya kebebasan untuk bertindak di luar batas etika, sementara guru merasa tak berdaya. Ketika guru ingin menegakkan kedisiplinan bagi siswanya, sering kali guru diadukan bahkan mengancam posisinya. Betapa tidak, Ketika seorang Kepala Sekolah sekalipun berusaha menegur seorang siswa yang kedapatan merokok dan berbohong, konsekuensinya bisa berujung pada pelaporan ke ranah hukum.
Hal ini bukanlah hal kecil. ini adalah puncak ledakan dari bencana moral yang terus-menerus dibiarkan dan diperparah oleh data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperkirakan 15 juta remaja usia 13-15 tahun di dunia menggunakan rokok elektrik atau vape, dengan kemungkinan penggunaan pada remaja sembilan kali tingi daripada orang dewasa (Inforemaja.id)
Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang mematikan wibawa guru. Guru berada di posisi serba salah, memilih menjalankan tugas mulia sebagai pendidik generasi bangsa dan menegakkan aturan agar siswa terbiasa disiplin, atau justru memilih diam supaya karirnya aman dari gugatan hukum.
Analisis pada fenomena ini harus membawa pada akar ideologisnya. Sistem pendidikan sekuler-liberal telah melahirkan generasi yang mengalami disorientasi nilai. Dalam kerangka liberala, kebebasan individu sering diartikan sempit sebagai hak untuk berbuat tanpa mempertimbangkan kewajiban dan etika.
Merokok di lingkungan sekolah, apalagi di depan guru bukanlah sekadar melanggar aturan. Tapi menjadi simbol “Pemberontakan” dan gaya hidup yang dianggap “dewasa” dan “Keren”.
Disaat yang sama, negara abai dengan membiarkan rokok dan vape mudah diakses oleh remaja. Hal itu menunjukan bagaimana lemahnya pengawasan dan komitmen untuk melindungi generasi muda. Segala bentuk kekerasan fisik tentu saja tidak dibenarkan dalam menyikapi hal ini, tetapi ketiadaan alternatif disiplin yang efektif dalam sistem sekuler inilah yang membuat insiden seperti ini akan terus terjadi, berulang kali.
Lalu bagaimana solusinya? Solusi yang jelas tentu saja dimulai dengan paradigma yang benar. Dalam sistem pendidikan saat ini tidak ada perlindungan yang jelas bagi guru, guru berada dalam tekanan yang luar biasa. Ibarat kata “Maju kena, mundur kena”.
Dalam hal ini sistem pendidikan seharusnya memberikan perlindungan yang jelas bagi guru. Mengingatkan atau menasehati seseorang yang bersalah adalah salah satu bagian dari amar makruf nahi mungkar, akan tetapi tidak melalui kekerasan. Bisa dilakukan upaya tabayun (klarifikasi) dan pendekatan psikologis siswa untuk memahami latar belakang mengapa ia bisa melakukan perbuatan tersebut.
Berikutnya, kita harus menyadari bahwa sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini memberikan ruang kebebasan, sistem Pendidikan ini terbukti telah gagal mencetak peserta didik yang bertakwa dan berakhlak mulia karena berlandaskan materialism dan kebebasan tanpa batas.
Sistem ini perlu diganti dengan sistem Pendidikan Islam yang menanamkan nilai-nilai fundamental seperti sopan santun dan rasa hormat kepada guru. Dan kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Dalam Islam guru adalah pilar peradaban, posisinya dihormati sebagai lentera bagi gelapnya pengetahuan, posisinya juga dimuliakan karena tugasnya yang luhur sebagai pewaris ilmu para nabi. Seorang guru bukan sekedar sumber ilmu tapi juga sebagai suri teladan dalam membentuk kepribadian muridnya.
Sedangkan, mengenai persoalan merokok, dalam Islam hukum merokok memang mubah, akan tetapi di sisi lain tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Merokok bisa membahayakan kesehatan bagi perokok aktif maupun pasif. Selain itu juga menjadikan hidup boros (israf).
Seorang remaja muslim yang paham agamanya akan menyadari bahwa uang yang dihabiskan untuk rokok adalah bentuk pemborosan, dan asap yang dihirup dan dihembuskannya tidak memberikan manfaat apapun di dalam organ tubuh, justru memberikan penyakit dalam tubuh maupun oranglain.
Sistem pendidikan Islam mengajarkan bagaimana pelajar mempunyai pola pikir dan pola sikap yang sesuai Islam. Melahirkan generasi yang mempunyai kesadaran bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Bahwa remaja muslim harus berprinsip dan bangkit menjadi generasi yang beriman bukan generasi yang merusak.
Insiden di Lebak dan Makassar adalah peringatan bahwa tanpa perubahan paradigma Sistem yang menyeluruh, kita hanya akan terus penonton bagi hancurnya moral generasi penerus bangsa. Tentu saja kita tidak ingin demikian.



 
									






