RADAR SULTIM, LUWUK – PT Penta Dharma Karsa angkat bicara terkait pernyataan Camat Luwuk Timur yang dinilai memperkeruh suasana di tengah masyarakat. Melalui Humas dan Legal perusahaan, Suparto, pihaknya menyayangkan sikap yang dianggap tidak mencerminkan semangat kolaborasi pemerintah dalam mendukung iklim investasi di Kabupaten Banggai.
“Sebagai perwakilan pemerintah, seharusnya Camat memahami mekanisme dan tidak sekadar melempar isu yang menimbulkan kebingungan di masyarakat,” jelas Suparto melalui Siran pers, Kamis 4 Juli 2025.
Ia mengingatkan bahwa Camat Luwuk Timur juga terlibat dalam sejumlah pertemuan Tim Pokja bentukan pemerintah daerah yang membahas persoalan tapal batas dan turut dihadiri oleh warga. Namun, ironisnya, Camat tidak hadir dalam rapat yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi.
Suparto menjelaskan, persoalan tapal batas merupakan kewenangan pemerintah, bukan perusahaan. Bahkan, sejak 6 Juni 2024, lalu jauh sebelum isu konflik tapal batas mencuat PT Penta Dharma Karsa telah bersurat kepada pemerintah daerah untuk meminta percepatan penetapan batas wilayah.
“Kami menjalankan kegiatan pertambangan sesuai peraturan yang berlaku, lengkap dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPPKH, dan RKAB. Perusahaan beritikad baik, namun langkah kami seakan tidak didukung oleh pemerintah di tingkat kecamatan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Suparto menyoroti peran Camat yang seharusnya menjadi jembatan mediasi, bukan justru memprovokasi. Ia menyatakan, urusan titik koordinat dan batas wilayah merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan perusahaan. “Seharusnya Camat memfasilitasi surat perusahaan, bukan melempar beban kepada kami,” tegasnya.
Terkait isu dampak lingkungan dan AMDAL, Suparto memastikan bahwa PT Penta Dharma Karsa telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan. Perusahaan juga mengaku proaktif memberikan bantuan dan santunan bagi masyarakat sekitar jika diperlukan. Adapun mengenai dana CSR, Suparto menjelaskan bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban di wilayah sesuai IUP, yakni di Kecamatan Pagimana, Desa Siuna.
“Jika nanti tapal batas menunjukkan wilayah itu masuk Luwuk Timur, kami tentu siap memenuhi kewajiban CSR di sana,” katanya.
Soal klaim ganti rugi lahan, perusahaan mengaku bersikap kooperatif dan saat ini sedang dalam proses mediasi oleh pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Tim dari provinsi juga tengah melakukan pengecekan lapangan untuk menilai apakah lahan yang diklaim masyarakat berada di kawasan hutan atau Area Penggunaan Lain (APL), termasuk soal keberadaan tanaman tumbuh yang disengketakan.
“Intinya, perusahaan tetap membuka diri dan menunggu hasil resmi dari Tim Pokja Provinsi. Kami harap semua pihak, terutama pemerintah daerah, dapat bersinergi mencari solusi, bukan saling lempar tanggung jawab,” tutup Suparto. ***