Scroll untuk baca artikel
Berita TerkiniOpini

Remaja Korban Bullying Semakin Membahayakan

27
×

Remaja Korban Bullying Semakin Membahayakan

Sebarkan artikel ini
Oleh: Fitriawati Ahsan (Aktivis dakwah)

RADAR SULTIM – Kasus bullying di berbagai daerah kini semakin mengkhawatirkan. Beberapa waktu lalu, seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka kasus terbakarnya asrama pondok pesantren tempat dia belajar. Sang santri disebut sengaja membakar asrama lantaran sakit hati karena kerap menjadi korban bullying oleh rekan-rekannya. (Beritasatu.com, 08-11-25)

Di Jakarta Utara, seorang Siswa SMA Negeri diduga melakukan aksi ledakan di sekolah karena kerap jadi korban bullying. Disebutkan oleh salah satu teman sekolahnya bahwa aksi tersebut juga merupakan percobaan bunuh diri oleh sang pelaku sehingga pelaku turut menderita luka-luka. (Kumparan.com, 07-11-25)

iklan : warmindo

Kasus-kasus seperti ini hanyalah sebagian kecil dari kejadian serupa yang terus terulang. Bullying kini telah menjadi momok yang mengerikan di berbagai daerah. Tidak hanya itu, pengaruh media sosial semakin memperparah situasi, menjadikan tindakan kekerasan verbal maupun fisik sebagai bahan candaan atau konten hiburan. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis adab pada remaja serta melemahnya fungsi pendidikan dalam membentuk kepribadian generasi muda.

Lebih jauh dari itu, media sosial kini bahkan menjadi rujukan bagi korban bullying untuk melakukan tindakan berbahaya yang dapat mengancam nyawa orang lain sebagai pelampiasan kemarahan atau dendam.

Lalu apa sebenarnya yang terjadi hari ini? Mengapa sistem pendidikan kita tidak mampu mengatasi problem moral yang semakin kompleks?

Sistem pendidikan sekuler

Sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang berfokus pada materi telah gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Bahkan, di banyak lembaga pendidikan Islam pun proses pembinaan perilaku sering terbentur oleh sistem yang berlaku.

Pada dasarnya pembentukan karakter anak melewati tiga proses. Yang pertama adalah pendidikan dari rumah. Pola asuh sangat berperan penting dalam membentuk perilaku anak, namun yang terjadi hari ini justru banyak anak kehilangan pondasi pembinaan dari keluarga.

Kedua adalah lingkungan, baik dari lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pendidikan. Kebanyakan sistem pendidikan saat ini berlandaskan sekuler kapitalis, sehingga anak-anak terbiasa memisahkan kehidupan mereka dari agama. Mereka memandang agama hanya sebagai bentuk spiritualitas semata.

Ketiga, kebijakan negara dan dinamika hukum juga berpengaruh terhadap cara sekolah menangani kasus bullying. Dalam beberapa kasus, terdapat guru yang berniat menegakkan kedisiplinan namun justru menghadapi persoalan hukum karena metode penanganan yang dianggap kurang tepat. Situasi seperti ini membuat sebagian guru menjadi lebih berhati-hati dan cenderung membatasi intervensi langsung agar tidak menimbulkan masalah baru. Akibatnya, pendekatan disiplin di sekolah sering kali bergeser menjadi sekadar nasihat, tanpa adanya mekanisme konsekuensi yang jelas dan terukur. Pada akhirnya, sebagian siswa tidak merasakan dampak nyata dari perbuatannya, sehingga proses pembelajaran moral menjadi kurang optimal.

Selain itu, keluarga dan sekolah sering kali gagal bekerja sama dalam membangun aturan dan pengawasan yang konsisten. Banyak orang tua menyerahkan pendidikan moral sepenuhnya kepada sekolah, sementara sekolah merasa batasan mereka terbatas tanpa dukungan penuh keluarga.

Belum lagi akses ke media sosial yang tak terbatas membuat anak meniru perilaku negatif tanpa filter, ditambah oleh minimnya pendampingan orang tua. Semua ini saling terkait satu sama lain sebagai konsekuensi dari sistem kapitalistik yang berorientasi pada materi, bukan pada pembinaan moral. Pendidikan akhirnya lebih banyak mencetak generasi pekerja, bukan generasi bermoral.

Pendidikan dalam pandangan Islam

Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam. Proses pembinaan dilakukan secara intensif untuk membentuk pola pikir dan pola sikap yang islami, tidak hanya fokus pada nilai materi, tapi juga nilai maknawi dan nilai ruhiyah. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi ketika mendidik para Sahabat, yang mampu menjadikan seorang Khalid bin Walid yang pernah memerangi kaum muslim, menjadi pembela Islam.

Dalam Islam, kurikulum harus berbasis akidah Islam dengan menjadikan adab sebagai fondasi pendidikan. Output yang ingin dihasilkan pun bukan sekadar nilai materi, tetapi generasi yang bermanfaat bagi umat. Karena itu, ketika kita melihat masa Dinasti Abbasiyah, masa kegemilangan umat Islam, kita mendapati banyak ilmuwan besar yang sekaligus ahli dalam agama. Ini membuktikan bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama, dan bahwa negara memiliki peran besar dalam mendukung pendidikan umatnya. Sejarah membuktikan hal tersebut melalui peran Khalifah Harun al-Rasyid pada masa Abbasiyah.

Dari sini sangat jelas bahwa negara memiliki kewajiban menjadi penjamin utama pendidikan, pembinaan moral umat, serta perlindungan generasi dari berbagai bentuk kezaliman sosial. Oleh karena itu, perbaikan generasi mustahil hanya bertumpu pada individu atau sekolah. Diperlukan sistem pendidikan Islam yang menyeluruh agar masalah moral seperti bullying tidak terus berulang.

Wallahu a’lam bishawwab.

google news