Scroll untuk baca artikel
Berita Terkini

Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024? HY : No Problem!

0
×

Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024? HY : No Problem!

Sebarkan artikel ini
Herwin Yatim

RADAR SULTIM – Ketua DPC PDIP Kabupaten Banggai, Herwin Yatim menegaskan jika partai yang di dipimpinnya di daerah itu tak mempermasalahkan bila Pemilu 2024 nantinya dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.

Gugatan judicial review sistem Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini menjadi perbincangan hangat kalangan politisi.

iklan : warmindo

Dimasukkan pada November 2022 lalu oleh Demas Brian Wicaksono selaku pengurus PDIP Cabang Probolinggo dan 5 warga sipil lainnya, MK telah mulai sejumlah proses dengan meminta keterangan pihak pihak dalam sidang pleno.

Juru Bicara MK Fajar Laksono, pada Rabu 4 Januari 2023 mengatakan pihaknya kembali telah menjadwalkan sidang pleno terkait perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu.

Yakni pada Selasa, 17 Januari 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait.

Wacana Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup diketahui pula telah dibahas oleh DPR.

Dengan hasil dari 9 fraksi yang ada, hanya fraksi PDIP yang memberikan dukungannya. Sementara 8 fraksi lainnya masih memilih Pemilu dengan sistem proprosional terbuka.

Menanggapi wacana tersebut, Ketua DPC PDIP Kabupaten Banggai Herwin Yatim sependapat dengan fraksi PDIP di DPR maupun sikap yang telah dinyatakan partai melalui Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Menurut mantan Bupati Banggai yang berhasil menggelorakan kesadaran hidup bersih masyarakat dengan PINASA itu, khususnya PDIP di Kabupaten Banggai tak ada masalah bila Pemilu 2024 terapkan sistem proporsional tertutup.

“Dan jauh sebelumnya, PDIP telah memilah kader-kader terbaik yang dipersiapkan untuk dijadikan calon-calon perwakilan rakyat melalui Pemilu 2024,” sebutnya, Kamis 5 Januari 2023.

Melalui pendidikan politik, kaderisasi, hingga pembinaan ideologi partai yang menempatkan mereka untuk menjadi para calon wakil rakyat.

Sehingga meski Pemilu dilakukan melalui sistem proporsional tertutup, tegas dia, siapapun wakil rakyat terpilih dari PDIP nantinya tetap orang-orang pilihan yang memiliki kapasitas mumpuni untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

“Jadi no problem (sistem proporsional tertutup),” sambung HY (sapaan Herwin Yatim).

Masih menurut HY, banyak keuntungan dari Pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

Beberapa diantaranya meminimalisir anggaran Pemilu yang setiap pelaksanaannya menghabiskan anggaran hingga ratusan miliar.

“Penyelenggara Pemilu juga tidak terlalu dicapekkan dengan banyaknya kertas suara, dimana pada Pemilu sebelumnya terdapat peristiwa banyak penyelenggara Pemilu yang meninggal dunia akibat kelelahan saat bertugas,” ujarnya.

Secara umum, HY juga sependapat dengan hasil penelitian khusus yang telah dilakukan PDIP, terkait kondisi liberalisasi politik yang mendorong parpol menjadi partai elektoral.

Dimana dampak dari kondisi itu, muncul kapitalisasi politik, oligarki politik, hingga persaingan bebas dengan menghalalkan segala cara.

“Sehingganya sistem ini bisa mendorong proses kaderisasi parpol dan berdampak pada pencegahan berbagai bentuk liberalisasi politik, hingga menekan berbagai bentuk kecurangan dalam Pemilu,” sebut HY.

Diketahui, para penggugat minta Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup di MK, sebab menilai sistem proporsional terbuka selama ini bertentangan dengan UUD 1945.

Yakni Pasal 1 ayat 1, Pasal 18 ayat 3, Pasal 19 ayat 1, Pasal 22E ayat 3 dan Pasal 28 D ayat 1.

Dikutip dari sejumlah sumber, para penggugat menilai Parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislaif yang memenuhi syarat dan berkualitas.

Oleh sebab itu parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

Kemudian, Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol.

Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.

Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat.

Pemilu yang dilakukan dengan proporsional terbuka atau suara terbanyak perseorangan, pada pokoknya menempatkan individu sebagai peserta pemilih sebenarnya.

Parpol kehilangan maknanya dengan hadirnya norma-norma lliberal, menjunjung tinggi elektabililtas perseorangan, daripada sistem kepartaian.

Hal ini dikarenakan tidak ada perintah dari konstitusi untuk memerintahkan adanya bentuk pemilu yang proporsional terbuka yang dilanjutkan dengan suara terbanyak.

Dengan berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini, dinilai juga telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal ‘populer dan menjual diri’ tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol.

Caleg dengan sistem proporsional terbuka tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibat sistem proporsional terbuka, saat menjadi anggota DPR atau DPRD, seolah-olah mewakili organisasi parpol, namun aslinya mewakili dirinya sendiri.

Olehnya, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.

Proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas, yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam pemilu.

Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, sebelumnya juga telah menegaskan jika penerapan sistem pemilihan proporsional terbuka maupun proporsional tertutup tak melanggar konstitusi.

Dikutip dari Kompas.com, Mahfud MD meluruskan anggapan bahwa putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 mengharuskan sistem pemilu proporsional terbuka.

“Sehingga kalau sekarang mau (sistem proporsional) tertutup lagi juga sah. Tidak ada sistem pemilu yang tidak konstitusional,” kata Mahfud.,

Mahfud menjelaskan, saat memutuskan soal sistem pemilihan ini, MK hanya menentukan bahwa syarat 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) untuk dihitung berdasarkan sistem proporsional terbuka, tidak adil.

Alasan ini yang menjadi pertimbangan MK Mencoret ambang batas 30 persen tersebut karena dianggap tidak bagi para calon dan menimbulkan ketidakpastian bagi pemilih.

Adapun, Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Legislatif pada dasarnya mengatur bahwa anggota DPR terpilih ditetapkan berdasarkan urutan suara terbanyak di antara calon-calon legislatif yang memperoleh suara 30 persen atau lebih dari BPP.

Ke depannya, Mahfud mengingatkan bahwa yang harus diutamakan adalah keadilan bagi calon legislatif dan kepastian bagi pemilih.

“Dalam istilah yang lebih konseptual hal tersebut disebutkan sebagai opened legal policy, terserah pilihan lembaga legislatif atau pembentuk UU untuk mengaturnya,” ujar Mahfud.

google news